Halaman

Selasa, 03 Juli 2012

Usulan Repormasi Perbaikan Sistem Partai Indonesia


PENDAHULUAN

Politik adalah lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional secara bersama-sama, berdasarkan pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui. Indonesia menganut sistem banyak partai, bisa dikatakan – mengalami degradasi dalam bidang politik. Betapa tidak sistem multi partai merupakan sistem kepartaian yang sangat kompleksitas dan merumitkan, terutama bagi kalangan konstituen, yakni rakyat. Dalam pengertiannya, sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari stuktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri.
Dengan memperhatikan karakteristik partai yang ada saat ini, maka jelas bahwa tipologi partai politik Indonesia memenuhi kriteria seperti di atas. Kemudian yang dimaksud dengan Tipologi partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu, seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan tujuan.
Sistem kepartaian dan partai politik merupakan dua konsep yang berbeda, Sistem kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga kini adalah Demokrasi Liberal.
Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang melakukan pembebasan warganegara untuk berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya. Dalam Demokrasi Liberal, partai politik dapat berkembang secara alami, bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal kini dianut di negara-negara seperti Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain.
Di jaman kolonial kehadiran dan kiprah Partai diawasi secara ketat oleh penguasa, namun para pendukungnya gigih memanfaatkannya sebagai kekuatan penyadaran rakyat secara taktis dan strategis, seperti pembelaan di pengadilan. Di masa kekuasaan Jepang partai dilarang, sehingga kaum pergerakan kemerdekaan harus berjuang secara tersembunyi, baik melalui Organisasi Masyarakat yang diizinkan dan dimaksudkan untuk membantu Jepang. Di era Demokrasi Liberal, Partai mendominasi kekuasaan Negara, sekalipun masih ada peran serta Ormas dan Perseorangan di dalam Pemilu 1955. Partai harus berbagi peran dengan Golongan Fungsional sampai 50 persen di masa Demokrasi Terpimpin, sementara hanya berperan sebagai kamuflase Demokrasi di bawah penguasa Demokrasi Pancasila. Dimasa Reformasi ini, dominasi Partai dihidupkan kembali sedemikian jauhnya, sehingga menjurus kepada kondisi monopolistik. Tapi perlu dicatat bahwa Partai dewasa ini tidak jelas betul hubungannya secara anatomis dengan Partai pendahulunya. Pasti ada sejumlah Partai yang punya sejarah panjang, akan tetapi bukan saja terkait secara parsial, malah lebih secara nuansa.
            Karena itu, tidak mengherankan apabila peran Partai dewasa ini menjadi kehilangan jati diri dan arah perkembangannya, partai politik hanya mementingkan kepentingan dari partai sehingga pembangunan bangsa ini mengalami kemunduran dan tidak jelas arahnya, masih abu-abunya tujuan dari politisi setelah berkuasa dan lebih mementingkan partainya, sehingga terjebak oleh kecenderungannya yang monopolistik. Motivas politisi Partai mendapatkan kekuasaan Negara, caranya mempertahankan serta kinerjanya memperlakukan kekuasaan yang dipunyai, secara keseluruhan menggambarkan watak monopolistik dimaksudkan, Analisis ideologi dan struktural serta behavior atas peran politisi dan partainya dalam era Reformasi ini, menjelaskan keseluruhan watak monopolistik tersebut.
            Dari sisi ideologi, kiprah Partai tampak semakin pragmatik. Kondisinya dewasa ini merupakan pematangan dan penguatan dari prosesnya sejak era Demokrasi Terpimpin, dimana  Soekarno dengan mengkombinasikan peran Partai dengan Golongan Fungsional di dalam DPR sebagai jawaban terhadap kegagalan pemilu tahun 1955. Pada masa orde baru pragmatisme bukan saja dikembangkan dalam kehidupan politik, akan tetapi  dilebarkan kedalam seluruh aspek kehidupan. Sekarang politisi Partai telah mengembangkannya menjadi politik kepentingan, dalam artian kepentingan diri dan golongan dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak di dalam perjuangan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan Negara. Maka Masyarakat atau Bangsa Indonesia menjadi ‘terbiasa’ dengan sikap politisi Partai, yang membiarkan rakyat dan Negara merugi, asal bukan dirinya dan partainya. Para penguasa dan penyelenggara Pemerintahan merasa normal apabila bersikap dan bertindak tidak visioner, seperti membuat UU hanya untuk lima tahun dan mengalokasikan anggaran terbanyak untuk keperluan rutin. Mereka mengabadikan posisi sebagai politisi semasa berkuasa, sehingga melalaikan kewajiban karena enggan mengabdikan diri sebagai Negarawan dan Manajer politik dan pemerintahan. Di dalam UU pemilu para politisi penguasa tidak membedakan syarat untuk menjadi peserta Pemilu dengan syarat untuk menjadi pemimpin politik dan pemerintahan, untuk memudahkan menjadi Calon Pemilu lewat kriteria yang kabur. Semua kondisi itu memungkinkan politisi Partai untuk memperoleh kekuasaan Negara secara relatif mudah, dan apabila sudah  berkuasa tidak perlu bekerja secara ideal sebagaimana seharusnya dituntut oleh institusi seperti Negara.
            Struktur oligarki sistem kekuasaan Partai dan Negara yang dikembangkan oleh politisi Partai, pertama kalinya ditampilkan melalui pemusatan kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan Partai berlangsung melalui dominasi Pengurus Pusat dalam menentukan kebijaksanaan organisasi partai, dalam artian tidak boleh bertentangan dengan sikap DPP dan khususnya Ketua Umum. Dan sentralisasi kekuasaan Negara, khususnya antara Pusat dan Daerah, diperlihatkan dalam kebijaksanaan politisi Partai yang berkuasa di Lembaga Pemerintahan, seperti:
1.      Ketentuan tentang prosedur pembuatan dan pembatalan Perda dalam UU 32/03 sebagai pengganti UU 22/99 yang bernafaskan otonomi luas dan nyata.
2.      Praktek pengalihan (kudeta) kedaulan rakyat menjadi kedaulatan rakyat, melalui berbagai kebijaksanaan Negara seperti Calon Pemilu hanya oleh partai, penentuan pemenang Pemilu berdasarkan nomor urut Calon, dan kontrol Fraksi kepada anggota Legislatif serta hak recall Fraksi/Partai terhadap anggota Parlemen, sebagaimana digariskan dalam UU politik.
3.      Kepentingan sepihak politisi dan Partainya, menjebaknya untuk mementingkan kontrol terhadap rakyat sehingga mengutamakan mobilisasi ketimbang partisipasi.
4.      Pengutamaan realisasi hak politisi dan partainya, dibandingkan dengan penunaian kewajibannya terhadap Masyarakat dan Bangsa serta Negara. Hal itu antara lain terbaca dari pembentukan banyak partai dengan alasan demokrasi, sementara partai itu membiarkan dirinya tidak berdaya untuk menjamin pembentukan Pemerintahan yang kuat dan efektif serta stabil.
5.      Totalitas kondisi tersebut yang memberi keleluasaan bagi elit Partai untuk memanfaatkan organisasi bagi pemenuhan kepentingannya, sebagaimana bila mereka berkuasa atas Negara.
Dan tingkah laku politisi Partai yang berwatak egois, tercermin dalam penolakannya atas pengggunaan Sistem Pemilu Mayoritas. Sebab eksistensi penguasa Partai di dalam Sistem Multi Partai sebagai produk Sistem Pemilu Proporsional adalah terjamin. Begitu pula dengan hak – hak istimewa mereka. Karenanya menolak Sistem Pemilu Mayoritas yang memungkinkan terbentuknya Sistem Partai kuat untuk menjamin efektifnya penggunaan Sistem Pemerintahan Presidentialisme, sehingga berkemampuan menyelesaikan masalah sambil membuat kemajuan. Sikap politisi Partai terbukti egois apabila diingat betapa mereka enggan dan gagal membentuk koalisi secara efektif dan stabil dan moyoritorian. Bersamaan dengan itu, politik elitis yang dipertahankan oleh politisi Partai, sebagaimana terbukti dari sikapnya yang mengutamakan kepentingan sendiri seperti dalam alokasi anggaran dan berbagai kebijaksanaan publik yang melindungi kepentingan sendiri.
Apalagi bila diamati betapa dilemahkannya pelaksanaan kewenangan Badan Kehormatan (BK) lembaga legislatif. Lebih jauh, egoisme para politisi Partai secara gamblang terbaca pada saat politisi Partai berupaya melalui UU Pemilu yang dibuatnya untuk meluaskan wilayah kekuasaan ke dalam DPD. Perluasan arena kekuasaan politisi Partai ke DPD, secara universal memang lazim di dalam kehidupan demokrasi. Tapi praktek yang hendak dilakukan di Indonesia tentulah harus memenuhi keseluruhan persyaratan demokrasi universal tersebut.

USULAN REPORMASI PERBAIKAN SISTEM PARTAI DI INDONESIA

Dewasa ini monopoli peran politisi Partai sudah sampai kepada momen yang membahayakan kehidupan dan perkembangan demokrasi indonesia yang berusia sangat muda. Demokrasi menjadi rentan terhadap Sistem Kekuasaan Totaliterianisme yang merupakan bawaan dari sistem monopoli kekuasaan Negara oleh satu golongan warga masyarakat yaitu Politisi Partai. Monopoli itu mengancam hak Warga Masyarakat yang tidak berpartai, bukan itu saja monompoli juga mengancam eksistensi Perwakilan Wilayah oleh warga dari daerah itu secara otonom, karena bila Wakil Wilayah itu dari Partai yang mempraktekkan sentralisasi kekuasaan akan mengabaikan kepentingan daerah sebagaimana selama ini berlangsung.
Patut dikritisi secara tajam bahwa monopolisasi kekuasaan Negara oleh politisi Partai melalui UU pemilu 2008 belakangan ini, pada hakekatnya lebih merupakan kepentingan sendiri. Sehingga kepentingan itu membuat niat pembangunan negara sebagai tujuan dari demokrasi tidak tercapai, belum lagi mental masyarakat indonesia yang rusak dan dibentuk oleh sistem semenjak dulu, maka untuk membangun bangsa ini banyak dikatakan oleh para ahli membangunnya harus dimulai dari mana? Sebuah sistem sudah terbentuk dan berkembang, ditambah mental manusia yang bobrok yang mementingkan individu bukan kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini jangan kita salahkan mengapa muncul sekarang, tetapi terbentuk secara berangsur-angsur semenjak pemerintahan orba, maka ini sudah terbentuk sejak lama.
Maka dalam permasalahan ini penulis mengusulkan untuk memperbaiki atau membangun mental manuia atau politisi itu sendiri, dibangun dan diberi nilai-nilia yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan merubah pola atau sistem kekuasaan pemerintah yang tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat. Mengingat kondisi Negara Indonesia yang semakin berbau Negara gagal, sebagaimana terbukti dari tidak efektifnya pemerintahan hasil pemilu, harus disadari secepatnya bahwa diperlukan perubahan secara substantif. Karena secara teoritis ekonomi pasar tidak bisa diandalkan oleh Negara seperti Indonesia saja, maka pembaharuan fundasi kehidupan politik kenegaraanlah yang logis diandalkan. Penguatan fundasi itu lewat Sistem dan Penyelenggaraan Pemilu kompetitif, dimaksudkan supaya prinsip/ ideologi bernegara dipedomani secara konsisten, di samping kekuasaan ditata secara berkeseimbangan, dan tingkah laku politik berkebebasan dan kompetitif bermuara kepada kesepakatan politik pro rakyat. Apabila prinsip dan cita–cita demokrasi dijadikan arah perjuangan politik maka berpeluang membentuk keseimbangan antar Lembaga Negara dan antar kekuatan politik/ partai mayoritas dengan minoritas serta antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang dijadikan tatanan dasar kehidupan politik kenegaraan, sementara para politisi penguasa bertindak sebagai negarawan dan pemimpin pembaharu. Jadi dikatakan untuk menghilangkan sistem partai, maka itu akan mengakibatkan  amburadulnya demokrasi, yang kata banyak orang partai adalah kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan atau kedudukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar