PENDAHULUAN
Pelapisan sosial adalah pembedaan masyarakat kedalam kelas-kelas secara
bertingkat ang wujudnya adalah kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah.
Sistem pelapisan sosial itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat
yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki suatu yang berharga seperti
misalnya tanah, uang, ternak, dan sebagainya dalam jumlah yang sangat banyak,
di anggap oleh masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas, mereka yang sedikit
sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga itu dalam
pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Dalam
hal tingkatan sosial, posisi-posisi tersebut(misalnya pemimpin, pengikut)
mempunyai status sosial tertentu. Karena peranan sosial yang menunjuk pada
keseluruhan norma dan harapan yang di tunjukkan orang hanya pada orang-orang
dalam posisi tertentu, maka peranan orang-orang itu mencerminkan pula status
sosialnya.
Hubungan
sosial dan relasi berlangsung karena terjadinya soal-soal yang penting di
antara para pelaku interaksi dan komunikasi itu. Ciri-ciri interaksi dan
komunikasi dengan tiga buah aspeknya(pikiran, perasaan, dan kemauan), dapat di
tunjukkan dimensi-dimensi struktural yang terdiri dari jarak sosial, integrasi
sosial, dan tingkatan sosial.
PEMBAHASAN
A.
Sistem status yang berubah
Sekitar tahun 1900, Belanda berhasil menegakkan
kekuasaannya di seluruh kepulauan Indonesia. Pelapisan masyarakat colonial
menurut garis ras, yang lazim terdapat di Jawa, mulai meluas ke pulau-pulau
seberang. Tetapi pada abad XX terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola
yang kaku ini dan meningkatkan mobilitas social.
Penanaman tanaman-tanaman yang hasilnya untuk di
jual di luar kota telah menimbulkan sebentuk paham individualisme ekonomi
tertentu yang memberontak terhadap ikatan-ikatan tradisional dan terhadap
kekuasaan ketua-ketua adat. Pendidikan juga mempunyai pengaruh dinamis di
pulau-pulau luar jawa. Untuk para cendekiawan, sedikit sekali pekerjaan di
ladang atau di daerah karet. Karena itu, kebanyakan orang-orang yang
mendapatkan pendidikan dengan cara barat berkumpul di jawa ketika bersekolah
dan setelah selesai sekolah mereka.
Semenjak tahun 1900, di jawa dapat pula di
perhatikan bertambah meningkatnya perbedaan profesi. Bertambah meluasnya
ekonomi uang dan meningkatnya hubungan dengan Barat telah menyebabkan timbulnya
lapangan kerja baru. Orang Indonesia semakin banyak juga yang bekerja di bidang
perdagangan di bandingkan sebelumnya.
Perkembangan selanjutnya ketika masa depresi
tahun30-an juga menunjukkan bahwa sebelum tahun 1930, suatu kelas bumiputera
yang baru tumbuh telah mulai ada, mendobrak susunan masyarakat tradisional lama
dan melakukan pengaruh yang bersifat individual, dimana dalam proses ini mereka
menjadi terbiasa dengan cara kehidupan barat.
Tetapi di jawa, pengaruh ini terlindungi oleh cara
tradisional masyarakat. Bagaimana elementernya pendidikan dasar, tetapi karena
si anak harus mengenal kewibawaan guru, di samping kewibawaan orang tua, maka
pendidikan itu mempunyai pengaruh terhadap skala tradisional prestise kemasyarakatan
dan terutama terhadap kewibawaan orang tua. Pengaruh nya lebih terasa lagi
ketika pendidikan si anak memungkinkannya mendapat pekerjaan di luar lingkungan
pertanian Indonesia, yang juga mengandung prestise kemasyarakatan dan
kemakmuran materi yang jauh lebih hebat dari apa yang di capai di rumah.
Dengan demikian pendidikan telah menciptakan kelas
baru kaum cendekiawan yang menduduki suatu posisi baru dalam masyarakat.
Prestise social dan kehidupan materi yang lebih makmur yang di kaitkan pada
posisi cendekiawan adalah demikian menariknya sehingga banyak rakyat biasa rela
memberikan kepada anak-anak mereka keuntungan-keuntungan pendidikan yang baik
secara pantas.
Pendidikan
telah menciptakan seluruh kelas orang Indonesia yang mempunyai pendidikan Barat
sampai ketingkat tertentu., dan adanya kelas ini telah menimbulkan suatu akibat
yang sama dinamisnya terhadap system status di Jawa seperti pengaruh perkebunan
karet di luar Jawa.
Pertama-tama, adanya kelas ini mempengaruhi system
nilai kemasyarakatan dalam masyarakat Indonesia. Kalau di zaman dahulu, orang
hanya memandang kapada pemuka-pemuka tradisional dan para pemimpin agama,
sekarang mereka mulai menilai kewibawaan para pemimpin kerohanian yang baru,
yaitu para cendekiawan. Guru sekolah yang terlatih secara barat inilah yang
pertama-tama melambangkan prastise yang baru. Pertumbuhan Sarekat Islam yang
luar biasa besarnya telah menunjukkan bahwa massa tidak lagi patuh kepada
kekuasaan tradisional tatapi mengikuti kepemimpinan kepala-kepala serikat buruh
yang berasal dari kelompok cendekiawan.
Kelas cendekiawan tidak saja mendobrak susunan kemasyarakatan
Jawa tradisional, tapi juga mendobrak pelapisan social colonial pada abad XIX
yang berdasarkan perbedaan ras. Pendidikan Barat telah memberikan kesempatan
kepada orang-orang Indonesia untuk mengisi jabatan-jabatan yang tadinya di
sediakan untuk kasta EROPA saja. Dengan cara begini dasar system status
colonial secara berangsur-angsur rubuh.
Setelah tahun 1900, pendidikan terbuka untuk
sejumlah besar orang-orang Indonesia. Permintaan akan tenaga terlatih selalu
meningkat. Orang-orang Indonesia mulai di angkat kepada jabatan-jabatan yang
tadinya merupakan hak-hak istimewa orang-orang eropa.
Pendidikan model barat dengan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar, telah menimbulkan keintiman kebudayaan antara
kelompok-kelompok yang luas dari orang-orang Indonesia dan orang-orang eropa
yang tumbuh kembang di Indonesia. Persaingan yang semakin hebat dalam suatu
masyarakat dimana karena adanya suatu system ekonomi yang dominan, serta
terdapat lebih banyak lamaran dari pada kesempatan kerja, telah menyebabkan
para anggota kaum borjuis mempersatukan barisan untuk mencapai solidaritas
kelompok.
Sekitar tahun 1920, golongan indo bergabung dalam
persatuan indo eropa dalam mengahadapi kelas yang sedang menanjak, yaitu
orang-orang Indonesia yang berpendidikan barat. Tujuan utamanya adalah untuk
memepertahankan hak-hak istimewa kemasyarakatan yang telah mereka peroleh
sendiri.
Di pihak lain, kalangan orang-orang Indonesia
terdapat kecendrungan yang lebih besar untuk mengadakan persatuan. Ini di
sertai dengan kesadaran kebangsaan yang semakin meningkat dan rasa hormat yang
semakin berkurang terhadap bangsa Belanda sebagai suatu factor social, juga
terhadap pengangkatan di dalam dinas pemerintahan Belanda dan terhadap sikap
asimilasi ke dalam kalangan-kalangan belanda. Penggunaan bahasa Indonesia,
suatu bentuk bahasa melayu yang di permodern, serta pemakaian kopiah, suatu
tutup kepala berwarna hitam telah menjadi lambang dari kesadaran nasional.
Dalam tahun kemelut, perjuangan persaingan ini
menjadi lebih hebat. Orang-orang indo harus mengikuti kursus-kursus yang lebih
tinggi dalam pendidikan agar dapat mempertahankan tingkat eropanya. Di pihak
lain semakin banyak pula jumlah orang-orang indo yang gagal dalam perjuangan
ini, dan telah menyebabkan banyak orang-orang indo jatuh ke dalam kondisi
kemiskinan materi. Proses seperti itu dapat juga di lihat di dunia dagang,
orang cina tidak lagi memegang monopoli dalam lapangan ini. Lagi pula di waktu
periode kemelut, pedagang cina menghadapi kesukaran yang lebih besar, karena
para importer jawa berusaha untuk menghilangkan perdagangan perantara cina.
Dengan demikian, bahkan sebelum perang, kedudukan
istimewa yang diduduki orang eropa dan orang cina, sebagaimana halnya dengan
kaum bangsa feodal, telah menjadi amat kurang stabil. Terdapat suatu
kecendrungan yang kuat ke arah suatu sistem nilai yang baru berdasarkan
kemakmuran individu dan kemampuan intelektual seseorang.
B.
Penyebaran Inovasi dari Lapisan Atas ke Lapisan
Bawah
Adapun yang merupakan penelaahan dalam bagian ini adalah
masalah komunikasi dengan mana orang-orang dari lapisan bawah, yang pada
umumnya merupakan penerima lambat menjadi tertarik untuk mengadopsi teknologi
baru atas pengaruh-pengaruh orang-orang yang telah mengadopsi lebih dulu.
Penelaahan di lakukan di dua desa, yaitu:
1. Desa Cianjur
Dari
penelitian, terdapat beberapa kesimpulan:
a. Warga lapisan atas pada umumnya bersikap
responsive terhadap pembaharuan-pembaharuan, dan menerima unsure-unsur
pembaharuan langsung dari penyuluhsebagai media yang menyebarkan.
b. Lingkungan-lingkungan pengaruh tidak
berdaya memaksakan pandangan atau kehendaknya kepada para pengikutnya, baik
untuk adopsi maupun untuk menghalangi adopsi.
c. Terjadinya adopsi terhadap inovasi baru
adalah atas pengaruh pergaulan akrab, dimana kekaraban ini di mulai sejak
kecil.
d. Penyebran inovasi dari lapisan atas
kebawah terjadi melali warga lapisan atas yang secara visual menyterupai
orang-orang bawah, merupakan tempat bertanya antara lapisan atas dan lapisan
bawah.
e. Warga lapisan bawah sebagai innovator
tidak suka menyuluh secara sengaja, juga tidak merupakan tempat bertanya bagi
petani lapisan bawah.
f. Para petani lapisan bawah pada umumnya
tidak ada yang bertanya kecuali beberapa orang saja, maka mereka mengadopsi
inovasi baru dengan jalan meniru secara diam-diam dengan hasil yang jauh dari
sempurna.
2. Desa Bekasi
Berdasarkan
hasil penelitian, warga lapisan atas adalah responsive terhadap penggunaan
pancausahadan khusunya pemupukan pada tanaman padi. Secara relative penyebaran
pancausaha pada tanaman padi didesa di desa Bekasi baru saja di mulai.
Orang-orang
dari lapisan atas ini bergaul rapat dengan mantra pertanian dan mengikuti
kursus yang di selenggarakannya. Hasil sangat sedikit dan sampai sekarang belum
menyebar luas, akibat dari serangan ganjur.
C.
Situasi social di desa polewali
Secara keseluruhan desa ini Nampak sebagai daerah
masyarakat yang mampu. Banyak gedung-gedung yang di bangun dengan gaya
arsitektur baru, dan Nampak terpelihara dengan baik. Dalam masyarakat polewali,
terdapat tiga lapisan masyarakat; ulama, pemangku adat dan pejabat=>lapisan
atas, pedagang=>lapisan menengah, buruh=>lapisan bawah.
Lapisan kaya terdiri dari para pemangku adat, alim
ulama, dan pejabat. Hal ini di perlihatkan oleh laporan yang menyatakan bahwa
ketiga golongan penduduk ini memiliki sebagian besar dari took-toko, perusahaan
dan tanah pertanian yang terdapat dalam wilayah ini. Terdiri dari orang bugis
dan Bandar. Golongan ekonomi sedang terdiri dari para pegawai dan pedagang.
Terdiri dari orang mandar, bugis, toraja, orang jawa dan cina. Golngan miskin
terdiri dari buruh tani, empang, pelabuhan, angkutan dan bangunan. Terdiri dari
orang bugis, toraja, Makassar dan jawa.
Masyarakat
polewali pada dasarnya adalah suatu masyarakat yang lugas, yang mengisi
kehidupanm mereka dengan berbagai usaha untuk menghadapi dan menyelesaikan
persoalan-persoalan nyata yang terdapat dalam lingkungan mereka. Pada taraf
perkembangan sekarang ini, masyarakat polewali Nampak sebagai suatu masyarakat
yang lebih bersifat inward looking. Media massa seperti Koran dan tv yang
terdapat dalam masyarakat ini sangat terbatas jumlahnya. Berdasarkan deskripsi
tentang gaya hidupyang telah di uraikan di atas dapat di perkirakan, bahwa
benda-benda mewah ini terutama tersebar di kalangan atas, khususnya di antara
keluarga-keluarga yang gemar mengumpulkan symbol-simbol kemewahan.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan
telah menciptakan seluruh kelas orang Indonesia yang mempunyai pendidikan Barat
sampai ketingkat tertentu., dan adanya kelas ini telah menimbulkan suatu akibat
yang sama dinamisnya terhadap system status di Jawa seperti pengaruh perkebunan
karet di luar Jawa.
Pendidikan model barat dengan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar, telah menimbulkan keintiman kebudayaan antara
kelompok-kelompok yang luas dari orang-orang Indonesia dan orang-orang eropa
yang tumbuh kembang di Indonesia.
Penyebaran Inovasi dari Lapisan Atas ke Lapisan Bawah, adanya masalah komunikasi
dengan mana orang-orang dari lapisan bawah, yang pada umumnya
merupakan penerima lambat menjadi tertarik untuk mengadopsi teknologi baru atas
pengaruh-pengaruh orang-orang yang telah mengadopsi lebih dulu.
Dalam masyarakat polewali, terdapat tiga lapisan
masyarakat; ulama, pemangku adat dan pejabat=>lapisan atas,
pedagang=>lapisan menengah, buruh=>lapisan bawah.
B.
SARAN
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
di harapkan penulis dari pembaca, demi kesempurnaan makalah ini dan yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Sajogyo, sajogyo
pudjiwati. Sosiologi Pedesaan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta :1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar