PENDAHULUAN
Politik adalah lembaga yang terdiri
atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional secara
bersama-sama, berdasarkan pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui.
Indonesia menganut sistem banyak partai, bisa dikatakan – mengalami degradasi
dalam bidang politik. Betapa tidak sistem multi partai merupakan sistem
kepartaian yang sangat kompleksitas dan merumitkan, terutama bagi kalangan
konstituen, yakni rakyat. Dalam pengertiannya, sistem banyak partai merupakan
suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini
merupakan produk dari stuktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural
maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung
memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan
kepentingan melalui wadah politik tersendiri.
Dengan memperhatikan karakteristik
partai yang ada saat ini, maka jelas bahwa tipologi partai politik Indonesia
memenuhi kriteria seperti di atas. Kemudian yang dimaksud dengan Tipologi
partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan
kriteria tertentu, seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota,
basis sosial dan tujuan.
Sistem
kepartaian dan partai politik merupakan dua konsep yang berbeda, Sistem
kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah
sistem politik spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik
berbeda-beda di setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari
aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga kini adalah Demokrasi
Liberal.
Demokrasi
Liberal adalah sistem politik yang melakukan pembebasan warganegara untuk
berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya.
Dalam Demokrasi Liberal, partai politik dapat berkembang secara alami,
bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas
melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal kini dianut
di negara-negara seperti Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina,
dan lain-lain.
Di
jaman kolonial kehadiran dan kiprah Partai diawasi secara ketat oleh penguasa,
namun para pendukungnya gigih memanfaatkannya sebagai kekuatan penyadaran
rakyat secara taktis dan strategis, seperti pembelaan di pengadilan. Di masa
kekuasaan Jepang partai dilarang, sehingga kaum pergerakan kemerdekaan harus
berjuang secara tersembunyi, baik melalui Organisasi Masyarakat yang diizinkan
dan dimaksudkan untuk membantu Jepang. Di era Demokrasi Liberal, Partai
mendominasi kekuasaan Negara, sekalipun masih ada peran serta Ormas dan
Perseorangan di dalam Pemilu 1955. Partai harus berbagi peran dengan Golongan
Fungsional sampai 50 persen di masa Demokrasi Terpimpin, sementara hanya
berperan sebagai kamuflase Demokrasi di bawah penguasa Demokrasi Pancasila.
Dimasa Reformasi ini, dominasi Partai dihidupkan kembali sedemikian jauhnya,
sehingga menjurus kepada kondisi monopolistik. Tapi perlu dicatat bahwa Partai
dewasa ini tidak jelas betul hubungannya secara anatomis dengan Partai
pendahulunya. Pasti ada sejumlah Partai yang punya sejarah panjang, akan tetapi
bukan saja terkait secara parsial, malah lebih secara nuansa.
Karena itu, tidak mengherankan
apabila peran Partai dewasa ini menjadi kehilangan jati diri dan arah
perkembangannya, partai politik hanya mementingkan kepentingan dari partai
sehingga pembangunan bangsa ini mengalami kemunduran dan tidak jelas arahnya,
masih abu-abunya tujuan dari politisi setelah berkuasa dan lebih mementingkan
partainya, sehingga terjebak oleh kecenderungannya yang monopolistik. Motivas
politisi Partai mendapatkan kekuasaan Negara, caranya mempertahankan serta
kinerjanya memperlakukan kekuasaan yang dipunyai, secara keseluruhan
menggambarkan watak monopolistik dimaksudkan, Analisis ideologi dan struktural
serta behavior atas peran politisi dan partainya dalam era Reformasi ini,
menjelaskan keseluruhan watak monopolistik tersebut.
Dari sisi ideologi, kiprah Partai
tampak semakin pragmatik. Kondisinya dewasa ini merupakan pematangan dan
penguatan dari prosesnya sejak era Demokrasi Terpimpin, dimana Soekarno dengan mengkombinasikan peran Partai
dengan Golongan Fungsional di dalam DPR sebagai jawaban terhadap kegagalan
pemilu tahun 1955. Pada masa orde baru pragmatisme bukan saja dikembangkan
dalam kehidupan politik, akan tetapi
dilebarkan kedalam seluruh aspek kehidupan. Sekarang politisi Partai
telah mengembangkannya menjadi politik kepentingan, dalam artian kepentingan
diri dan golongan dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak di dalam
perjuangan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan Negara. Maka Masyarakat atau
Bangsa Indonesia menjadi ‘terbiasa’ dengan sikap politisi Partai, yang
membiarkan rakyat dan Negara merugi, asal bukan dirinya dan partainya. Para
penguasa dan penyelenggara Pemerintahan merasa normal apabila bersikap dan
bertindak tidak visioner, seperti membuat UU hanya untuk lima tahun dan
mengalokasikan anggaran terbanyak untuk keperluan rutin. Mereka mengabadikan
posisi sebagai politisi semasa berkuasa, sehingga melalaikan kewajiban karena
enggan mengabdikan diri sebagai Negarawan dan Manajer politik dan pemerintahan.
Di dalam UU pemilu para politisi penguasa tidak membedakan syarat untuk menjadi
peserta Pemilu dengan syarat untuk menjadi pemimpin politik dan pemerintahan,
untuk memudahkan menjadi Calon Pemilu lewat kriteria yang kabur. Semua kondisi
itu memungkinkan politisi Partai untuk memperoleh kekuasaan Negara secara
relatif mudah, dan apabila sudah
berkuasa tidak perlu bekerja secara ideal sebagaimana seharusnya
dituntut oleh institusi seperti Negara.
Struktur oligarki sistem kekuasaan
Partai dan Negara yang dikembangkan oleh politisi Partai, pertama kalinya
ditampilkan melalui pemusatan kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan Partai
berlangsung melalui dominasi Pengurus Pusat dalam menentukan kebijaksanaan
organisasi partai, dalam artian tidak boleh bertentangan dengan sikap DPP dan
khususnya Ketua Umum. Dan sentralisasi kekuasaan Negara, khususnya antara Pusat
dan Daerah, diperlihatkan dalam kebijaksanaan politisi Partai yang berkuasa di
Lembaga Pemerintahan, seperti:
1. Ketentuan
tentang prosedur pembuatan dan pembatalan Perda dalam UU 32/03 sebagai
pengganti UU 22/99 yang bernafaskan otonomi luas dan nyata.
2. Praktek
pengalihan (kudeta) kedaulan rakyat menjadi kedaulatan rakyat, melalui berbagai
kebijaksanaan Negara seperti Calon Pemilu hanya oleh partai, penentuan pemenang
Pemilu berdasarkan nomor urut Calon, dan kontrol Fraksi kepada anggota
Legislatif serta hak recall Fraksi/Partai terhadap anggota Parlemen, sebagaimana
digariskan dalam UU politik.
3. Kepentingan
sepihak politisi dan Partainya, menjebaknya untuk mementingkan kontrol terhadap
rakyat sehingga mengutamakan mobilisasi ketimbang partisipasi.
4. Pengutamaan
realisasi hak politisi dan partainya, dibandingkan dengan penunaian
kewajibannya terhadap Masyarakat dan Bangsa serta Negara. Hal itu antara lain
terbaca dari pembentukan banyak partai dengan alasan demokrasi, sementara
partai itu membiarkan dirinya tidak berdaya untuk menjamin pembentukan
Pemerintahan yang kuat dan efektif serta stabil.
5. Totalitas
kondisi tersebut yang memberi keleluasaan bagi elit Partai untuk memanfaatkan
organisasi bagi pemenuhan kepentingannya, sebagaimana bila mereka berkuasa atas
Negara.
Dan tingkah laku politisi Partai yang
berwatak egois, tercermin dalam penolakannya atas pengggunaan Sistem Pemilu
Mayoritas. Sebab eksistensi penguasa Partai di dalam Sistem Multi Partai
sebagai produk Sistem Pemilu Proporsional adalah terjamin. Begitu pula dengan
hak – hak istimewa mereka. Karenanya menolak Sistem Pemilu Mayoritas yang
memungkinkan terbentuknya Sistem Partai kuat untuk menjamin efektifnya
penggunaan Sistem Pemerintahan Presidentialisme, sehingga berkemampuan
menyelesaikan masalah sambil membuat kemajuan. Sikap politisi Partai terbukti
egois apabila diingat betapa mereka enggan dan gagal membentuk koalisi secara
efektif dan stabil dan moyoritorian. Bersamaan dengan itu, politik elitis yang
dipertahankan oleh politisi Partai, sebagaimana terbukti dari sikapnya yang
mengutamakan kepentingan sendiri seperti dalam alokasi anggaran dan berbagai
kebijaksanaan publik yang melindungi kepentingan sendiri.
Apalagi bila diamati betapa
dilemahkannya pelaksanaan kewenangan Badan Kehormatan (BK) lembaga legislatif.
Lebih jauh, egoisme para politisi Partai secara gamblang terbaca pada saat
politisi Partai berupaya melalui UU Pemilu yang dibuatnya untuk meluaskan
wilayah kekuasaan ke dalam DPD. Perluasan arena kekuasaan politisi Partai ke
DPD, secara universal memang lazim di dalam kehidupan demokrasi. Tapi praktek
yang hendak dilakukan di Indonesia tentulah harus memenuhi keseluruhan
persyaratan demokrasi universal tersebut.
USULAN REPORMASI PERBAIKAN SISTEM
PARTAI DI INDONESIA
Dewasa ini monopoli peran politisi
Partai sudah sampai kepada momen yang membahayakan kehidupan dan perkembangan
demokrasi indonesia yang berusia sangat muda. Demokrasi menjadi rentan terhadap
Sistem Kekuasaan Totaliterianisme yang merupakan bawaan dari sistem monopoli
kekuasaan Negara oleh satu golongan warga masyarakat yaitu Politisi Partai.
Monopoli itu mengancam hak Warga Masyarakat yang tidak berpartai, bukan itu
saja monompoli juga mengancam eksistensi Perwakilan Wilayah oleh warga dari
daerah itu secara otonom, karena bila Wakil Wilayah itu dari Partai yang
mempraktekkan sentralisasi kekuasaan akan mengabaikan kepentingan daerah
sebagaimana selama ini berlangsung.
Patut dikritisi secara tajam bahwa
monopolisasi kekuasaan Negara oleh politisi Partai melalui UU pemilu 2008
belakangan ini, pada hakekatnya lebih merupakan kepentingan sendiri. Sehingga
kepentingan itu membuat niat pembangunan negara sebagai tujuan dari demokrasi
tidak tercapai, belum lagi mental masyarakat indonesia yang rusak dan dibentuk
oleh sistem semenjak dulu, maka untuk membangun bangsa ini banyak dikatakan
oleh para ahli membangunnya harus dimulai dari mana? Sebuah sistem sudah
terbentuk dan berkembang, ditambah mental manusia yang bobrok yang mementingkan
individu bukan kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini jangan kita
salahkan mengapa muncul sekarang, tetapi terbentuk secara berangsur-angsur
semenjak pemerintahan orba, maka ini sudah terbentuk sejak lama.
Maka dalam permasalahan ini penulis
mengusulkan untuk memperbaiki atau membangun mental manuia atau politisi itu
sendiri, dibangun dan diberi nilai-nilia yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan merubah pola atau sistem
kekuasaan pemerintah yang tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat. Mengingat
kondisi Negara Indonesia yang semakin berbau Negara gagal, sebagaimana terbukti
dari tidak efektifnya pemerintahan hasil pemilu, harus disadari secepatnya
bahwa diperlukan perubahan secara substantif. Karena secara teoritis ekonomi
pasar tidak bisa diandalkan oleh Negara seperti Indonesia saja, maka pembaharuan
fundasi kehidupan politik kenegaraanlah yang logis diandalkan. Penguatan
fundasi itu lewat Sistem dan Penyelenggaraan Pemilu kompetitif, dimaksudkan supaya
prinsip/ ideologi bernegara dipedomani secara konsisten, di samping kekuasaan
ditata secara berkeseimbangan, dan tingkah laku politik berkebebasan dan
kompetitif bermuara kepada kesepakatan politik pro rakyat. Apabila prinsip dan
cita–cita demokrasi dijadikan arah perjuangan politik maka berpeluang membentuk
keseimbangan antar Lembaga Negara dan antar kekuatan politik/ partai mayoritas
dengan minoritas serta antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang dijadikan
tatanan dasar kehidupan politik kenegaraan, sementara para politisi penguasa
bertindak sebagai negarawan dan pemimpin pembaharu. Jadi dikatakan untuk
menghilangkan sistem partai, maka itu akan mengakibatkan amburadulnya demokrasi, yang kata banyak
orang partai adalah kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan atau kedudukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar